Belakangan ini,
nasib sepertinya mengarahkan saya untuk menguping pembicaraan orang lain.
Ya..,seperti tulisan sebelumnya, kali ini masih seputar pembicaraan orang lain
yang sempat terekam kuping saya.
Kejadiannya beberapa
jam yang lalu, waktu saya sedang menjalani perawatan gigi di sebuah klinik. Setelah
sudah cukup bĂȘte karena harus antri berjam-jam, akhirnya tibalah giliran saya
masuk ke dalam ruang praktek dokter gigi. Di ruangan itu ada 3 dental unit, 3
orang dokter gigi beserta asistennya masing-masing, 2 pasien (selain saya), dan
seorang ibu yang sedang menunggu anaknya yang juga sedang menjalani perawatan
gigi (ini dia tokoh sentral dalam cerita kali ini).
Awal memasuki
ruangan praktek dokter, si ibu ini memang cukup menarik perhatian saya. Ukuran badannya
berbanding lurus dengan suaranya. Kesan pertama hanya “kebesaran” itu yang saya
tangkap, saya belum terpaksa memperhatikan dan merekam apa yang ibu ini
bicarakan. Saya hanya duduk di dental unit, sambil menunggu dokter mendengar
keluhan dan memeriksa gigi saya. Dokter pun menanyakan keluhan saya. Setelah
mendengar keluhan saya yang amat tidak panjang(apalagi lebar), dokter tahulah
apa yang harus ia lakukan. Ia menyentuh perkakas kedokteran giginya dan tentu
saja menghidupkan bor atau apalah itu. Gigi saya dibor. Sebentar. Si ibu
ngobrol dengan dokter yang sedang menangani gigi saya. Si ibu terus ngomong,
dokter pun menimpali. Sempat kepikiran “untung yang di depan saya ini dokter
gigi beneran, klo gak..,bisa-bisa gusi sayalah yang dibor klo sambil ngobrol
begini”. Pembicaraan makin hangat rupanya. Gigi saya masih saja dibor, si Ibu
masih ngomong. Sebentar. Mesin bor mati, saya lalu berkumur, dokter ngobrol
lagi sama si Ibu. Mesin bor hidup, dokter tetap ngobrol dengan si Ibu. Mesin bor
mati lagi, gigi saya gak diapa-apain. Entah beberapa kali seperti itu sampai
akhirnya gigi saya benar-benar tuntas dibor dan siap untuk perawatan
selanjutnya. Saya mulai tidak nyaman dengan keberadaan si Ibu.
Lanjut di sesi
perawatan selanjutnya. Kali ini melibatkan asisten dokter. Perawatan gigi saya
melalui suatu tahap yang dimana gigi saya harus berhadapan dengan mesin “light
curing” (orang-orang sering menyebutnya sinar laser). Tapi karena lagi-lagi si
Ibu tidak berhenti ngomong, perhatian dokter dan asistennya terbagi juga untuk
si Ibu ini. Awalnya light curing benar-benar mengarah ke gigi saya, tapi karena
perhatian asisten dokter yang bertugas memegang light curing ini tiba-tiba
tertuju kepada si Ibu, alhasil bibir sayalah yang merasakan light curing.
Hangat. Saya terima nasib.
Masih lanjut di
sesi berikutnya. Saya diminta menunggu karena dokter yang menangani saya juga
harus ikut menangani pasien di sebelah saya. Si Ibu masih saja bersuara. Momen menunggu
kali inilah yang mengarahkan saya untuk mulai menyimak apa yang sebenarnya jadi
pembicaraan hangat dalam ruangan praktek ini. Saya mendengar pembahasan tentang
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, pembahasan mengenai karma, dan
beberapa pembahasan “kesana-kemari” lainnya. Tibalah pembicaraan pada topic menguruskan
badan. Ide pokok makin berkembang. Salah satu dokter yang jauh lebih muda, sepertinya
tertarik dengan pembicaraan ini. dia mendekati narasumber. Dia memilih duduk
berhadapan dengan si Ibu. Si Ibu bercerita tentang pengalamannya menguruskan
badan. Sepertinya ia tidak bisa mencapai ukuran yang ia mau. Tulangnya besar
katanya. Dokter yang lebih muda ini pun katanya ingin menguruskan badan lagi
(padahal bodynya sudah ok loh..,tinggi semampai gitu deh). Si Ibu menyarankan “Jangan
! klo dokter masih kurus lagi..,gimana jadinya? Dokter tulangnya kecil”. Sebenarnya
paragraph pengembang setelah ide pokok ini masih banyak, tapi saya
lupa..,sampai akhirnya saya mendengar kalimat ini “Dokter itu kan kerja… otak
sama fisik. Beda dengan tukang yang cuma fisik dan bla..bla..bla..”. Saya makin
tertarik dengan pembicaraan ini. Sambil mikir tentunya. Emang tukang bisa kerja
tanpa otak ? Apa iya bangunan bisa berdiri jika tukangnya bekerja tidak pakai
otak ? Lha, bukannya manusia itu memutuskan kerja atau tidak berdasarkan
perintah dari otak ? Saya tersenyum, tapi dalam hati.
Topic makin
kesana-kemari, bahas radiasi handphone-lah, adik si Ibu-lah, dan masih banyak lagi. Tibalah kita pada tips memilih pasangan yang memperhitungkan
bibit,bobot,bebet. Nasehat si Ibu kepada anak-anaknya(konon) “klo nyari cewek,
liat ibunya karena ibu penentunya. Ibu yang membawa gen.” Dibenarkan oleh
dokter yang lebih senior, katanya ayah hanya menurunkan 20% gen atau apalah
istilahnya. Masih lanjut kata si Ibu “Gak peduli bapaknya pangkatnya apa,
pokoknya liat ibunya. Ibu itu penentu bibit unggul, di kitab suci pun ada”.
Yaaa…,,sampai di sini sesekali saya tersenyum. Si Ibu terus saja dengan “bibit
unggulnya”, sampai ia curhat soal anaknya yang berhasil menemukan bibit unggul.
Sesekali saya tersenyum, sampai akhirnya saya bingung memilih ekspresi karena
kelanjutan pembahasan bibit unggul ini. “Pokoknya liat ibunya. Orang tua yang
bisa nyekolahin anaknya kedokteran itu hebat lho. Dokter ini bibit unggul.”
Kalimat ini membuka mata saya, menyadarkan di kategori “bibit” mana saya
berada. Kita lanjut ke kalimat selanjutnya “Laki-laki yang bisa dapat dokter itu
beruntung.” Nah, lagi-lagi saya menemukan alasan kejombloan saya, mereka takut
sial karena saya bukan dokter !!! hahahahaha
(Maaf, ada sesi
curcol di sesi terakhir.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar