Selasa, 09 Februari 2016,
mengikuti saran dokter saya pun harus merelakan gigi geraham kanan bawah saya
dicabut. Gigi ini memang sudah bermasalah sejak lama. Saya hanya berusaha
mempertahankannya sebisa mungkin, tapi sepertinya kali ini sudah tidak
tertolong lagi.
Lupa persisnya kapan gigi ini
bermasalah (baca:berlubang). Entah sejak
kuliah atau malah sewaktu saya masih SMA dan saya memutuskan merawat gigi ini setelah masalahnya sudah
jauh lebih besar. Itupun karena gigi sebelahnya lagi sudah rusak parah dan
mesti dicabut. Iya, saya sudah ompong sebelumnya hahahaha. Ah...jadi ingat bagaimana dulu menderitanya
sakit karena gigi yang dicabut lebih dulu itu. Nah.., karena sakit luar biasa
itu, saya sempat berpikir untuk sekalian menghabisi geraham kanan waktu itu
juga bersamaan dengan geraham kiri. “meskipun belum pernah sakit, toh sudah
berlubang juga” begitu pikir saya waktu itu. Tapi dokter gigi menasehati saya
“kalau masih bisa dirawat, ya dirawat, tidak perlu buru-buru cabut gigi”. Saya
pun menurut, geraham kanan saya ditambal,
dan bertahanlah gigi geraham kanan bawah saya ini kurang lebih 9 tahun.
Mempertahankan satu gigi geraham
yang sebenarnya sudah rusak ini ternyata tidak gampang, mungkin samalah dengan
mempertahankan hubungan, hubungan yang sudah tidak sehat sejak awalnya....preeett.
Tahun 2009 gigi saya itu ditambal
lagi. Karena kurang perawatan dari tuannya, akhirnya tahun 2013 tambalannya
jebol dan malah jadi masalah. Tapi, meskipun begitu dokter tidak lantas
mencabut gigi saya. Masih bisa dirawat katanya. Ya sudah.., gigi saya pun ditambal lagi untuk kesekian
kalinya. Tapi sebelum ditambal, saya
mesti melalui proses yg istilahnya “perawatan saluran akar”. Saya tidak tahu
persis ini apaan, saya dengarnya begitu. Dan jenis perawatan yang satu
mengharuskan saya merelakan waktu tidur selama satu malam berkat ngilu yang
kelewatan. Sebenarnya ngilu kelewatan ini bisa saja saya hindari, tapi karena
manusia kadang suka menyakiti diri sendiri...yaa saya ogah dong minum obat
pereda nyeri dari dokter.., dokter itu ...eh. Ngilu selesai, gigiku pun
ditambal lagi-lah, dan bertahan (Cuma) setahun.
Tahun 2014, bermasalah lagi. Pindah
dokter gigi. “kalau masih bisa dirawat, ya dirawat”. Dirawat lagi, tahun ini
masih batal jadi ompong. Bertahan sampai akhir tahun 2015.
Akhir tahun 2015, masalahnya lain
lagi. Bukan soal tambalan yang jebol, tapi karena gigi saya sudah rapuh (dari
gigi turun ke hati, *kemudian nyanyi* satuduatiga...rapuh semuanya) gigi saya pun
patah. Patahannya kecil (sih.., tapi rela bagi-bagi?), tapi saya tahu kalau
patahan sekecil ini pastilah masalah besar (lagi). Berhubung masalahnya muncul
di akhir tahun, yang bersamaan dengan jadwal pulang kampung.., jadilah “masalah”
ini saya pendam hingga tahun baru. Sekembalinya ke Makassar saya juga tidak
langsung membereskan “masalah” ini. Masih perlu beberapa hari di Makassar,
sampai akhirnya saya ke klinik. Jadilah 09 Februari kemarin saya ompong lagi.
Tahun 2013, “perawatan saluran akar” itu mengharuskan saya merasakan ngilu yang sebenarnya bisa saya hindari dengan cara minum obat. Sudah ada yang memperingatkan saya kalau tanpa obat saya akan ngilu sampai pagi. Tapi tanpa obatpun, ngilunya akan selesai waktu pagi. Jadi, saya memutuskan tidak perlu minum obat, toh besok pagi sakitnya bakal hilang juga. Tidak perlu usaha yang lebih untuk sesuatu yang hasilnya sudah pasti besok. Pikiran bodoh.
Perihal saya mempertahankan gigi yang sebenarnya sudah tidak sehat, saya tidak pernah tahu kalau kelak saya akan kehilangan gigi saya itu hanya di tahun ke-9. Meskipun begitu, bahkan sekarang ketika memikirkan bahwa pada akhirnya gigi itu ternyata tidak bisa dipertahankan, saya tidak pernah berpikir bahwa seharusnya saya membiarkan gigi itu hilang sejak dulu saja. Mungkin juga, ini sama bodohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar