Kamis, 21 April 2016

Selamat Hari Kartini!






Dibesarkan oleh ibu seperti yang membuat status di atas tentu saja adalah keberuntungan. Tapi bukan berarti anak yang dibesarkan oleh ibu dengan status sebagai pekerja kantoran (meskipun kasihan) adalah anak yang tidak beruntung.

Saya dibesarkan oleh ibu yang bekerja sebagai PNS. Status sebagai PNS membuatnya tidak di rumah pada siang hari. Saya tidak pernah merasa terlantar apalagi sampai mengasihani diri sendiri karena hal itu. ‘Tidak ada ibu di rumah’ berarti tidak ada yang mengomel ketika saya tidak mengganti seragam sekolah lebih dulu sebelum bermain di rumah tetangga. Menyenangkan sekali.

Ibu saya bekerja sebagai PNS sebelum menikah, tapi setelah memiliki dua anak ia sempat berniat mengundurkan diri lalu fokus mengurus anak di rumah. Syukurlah niatnya tidak pernah terlaksana sebelum  akhirnya  ia menjadi orang tua tunggal, hanya beberapa bulan setelah memiliki niat itu.

Tak lagi punya pekerjaan saat menjadi janda dengan anak-anak yang masih balita, tentu akan membuat hidup ibu saya lebih berat dari segi ekonomi. Apalagi ibu saya tidak terlahir dari keluarga bangsawan yang bisa mewarisi banyak kebun, sawah, bukit bahkan hutan, yang jika tidak sanggup menggarapnya warisan itu bisa saja dijual. ‘Berhenti sebagai PNS saat Bapak saya masih hidup’ hampir saja jadi keputusan ibu yang paling ia sesali.

Dibesarkan oleh ibu yang berstatus sebagai pegawai tidak pernah membuat saya merasa tidak terurus. Ibu jelas mengurus kami anak-anaknya. Bahkan ketika ibu saya tidak pernah mempermasalahkan berapa pun nilai anak-anaknya di sekolah, saya tetap merasa ia tidak sedang mengabaikan kami. Ibu saya malah heran, saat saya kelas 2 SMA buku rapor saya sembunyikan berbulan-bulan karena nilai Fisika saya 5. Ia tidak marah. Berganti saya yang kemudian heran.

Ibu saya juga bukan tipe ibu-ibu yang suka mendampingi anak-anaknya saat mengerjakan PR. Memang jawaban PR bisa ditemukan di buku paket masing-masing pelajaran, tapi tidak begitu dengan Matematika. Sejak pelajaran Matematika tidak lagi sebatas penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan puluhan, ibu saya memang mengingatkan “Jangan pernah tanya tentang matematika!”. Jadilah saya anak yang jarang mengerjakan PR di bawah pengawasan ibu.

Satu-satunya momen mengerjakan PR bersama ibu yang saya ingat adalah ketika PR Bahasa Indonesia mengharuskan saya mencari arti kata (yang katanya sendiri sudah saya lupa, yang pasti kata yang sudah disertai awalan) dan sinonimnya. Saya mengandalkan kamus waktu itu. Tapi kata yang saya cari tidak juga saya temukan karena saya mencari kata itu berdasarkan huruf pertama dari kata yang sudah dengan awalan itu. Ibu lalu memberitahu bahwa mencari kata-kata di kamus harus berdasarkan kata dasarnya. Pesan ibu saya ini, saya pegang teguh sampai aplikasi kamus di ponsel muncul.

Jangankan mendampingi saat mengerjakan PR, ibu saya bahkan jarang sekali memeriksa buku catatan saya di sekolah. Suatu kali, saat saya sudah duduk di kelas 4 SD, saat guru sudah memberi catatan dengan cara mendikte, ibu mendapati catatan saya berisi kata-kata yang disingkat. Ibu protes dengan dengan banyaknya singkatan di  catatan saya, sampai saya membuat kesimpulan bahwa di matanya kata yang bisa disingkat hanyalah ‘yang’. Ibu lalu mengingatkan agar tidak terbiasa dengan hal itu. Ini adalah salah satu nasehat Ibu yg tidak pernah saya turuti, sampai skrg. Kalau tidak percaya, coba baca baik-baik satu kalimat sebelum kalimat ini!

Saya rasa sekalipun Ibu saya adalah ibu rumah tangga biasa, tetap saja momen-momen mengerjakan PR dan membahas pelajaran adalah hal yang akan jarang saya alami, dan saya tidak pernah kecewa karena hal itu.

Berbeda dengan Ibu saya yang bekerja karena semata-mata alasan ekonomi, seorang teman saya punya alasan yang lebih lagi. Menikah dengan pria dengan kondisi ekonomi mapan disertai latar belakang keluarga yang berada malah membuat teman saya ini lebih semangat sebagai pekerja kantoran. 

Pernah ia bercerita, mengeluhkan anak laki-lakinya yang begitu manja karena lebih sering diasuh kakek dan nenek. “Biar dibilangi jelek bajunya, marah mi. Maunya dipuji terus. Kalau sekolah mi nanti bakal susah punya teman. Begitu mi kalau anak-anak lebih banyak sama neneknya.”

“Berhenti mi ko kerja!”, kata saya. “Ih, jangan. Ko taumi bukan ka anak orang kaya, trus menikah dengan anak orang kaya, apalagi yang bisa bikin tegak kepalaku di depan keluarganya kalau tidak ada kerja ku? Tidak pernah ji memang saya dengar mereka remehkan keluargaku, tapi bakal jadi tidak pede ka kalau tidak ada penghasilanku”, lanjutnya. Saya tidak lanjut bertanya lagi, saya memakluminya keresahannya.

Ibu saya yang hidup sebagai orang tua tunggal tentu memiliki keresahan berbeda dengan teman yang saya ceritakan di atas, jika  saja mereka tidak lagi bekerja sebagai pegawai kantoran. Perempuan yang lain pun mungkin punya keresahan yang berbeda lagi. Keresahan adalah hal yang biasa. Bukankah Kartini juga dulunya memiliki keresahan? Maka resah lalu menulislah! Seperti Kartini. Selamat Hari Kartini!

2 komentar:

Mukhsin Pro mengatakan...

Selalu nggak ada habis-habisnya kalau ngomongin tentang sosok ibu.

Unknown mengatakan...

Ho'oh... :-)

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...