Dibesarkan oleh ibu
seperti yang membuat status di atas tentu saja adalah keberuntungan. Tapi bukan
berarti anak yang dibesarkan oleh ibu dengan status sebagai pekerja kantoran
(meskipun kasihan) adalah anak yang tidak beruntung.
Saya dibesarkan oleh ibu
yang bekerja sebagai PNS. Status sebagai PNS membuatnya tidak di rumah pada
siang hari. Saya tidak pernah merasa terlantar apalagi sampai mengasihani diri
sendiri karena hal itu. ‘Tidak ada ibu di rumah’ berarti tidak ada yang
mengomel ketika saya tidak mengganti seragam sekolah lebih dulu sebelum bermain
di rumah tetangga. Menyenangkan sekali.
Ibu saya bekerja
sebagai PNS sebelum menikah, tapi setelah memiliki dua anak ia sempat berniat
mengundurkan diri lalu fokus mengurus anak di rumah. Syukurlah niatnya tidak
pernah terlaksana sebelum akhirnya ia menjadi orang tua tunggal, hanya beberapa
bulan setelah memiliki niat itu.
Tak lagi punya pekerjaan
saat menjadi janda dengan anak-anak yang masih balita, tentu akan membuat hidup
ibu saya lebih berat dari segi ekonomi. Apalagi ibu saya tidak terlahir dari
keluarga bangsawan yang bisa mewarisi banyak kebun, sawah, bukit bahkan hutan,
yang jika tidak sanggup menggarapnya warisan itu bisa saja dijual. ‘Berhenti
sebagai PNS saat Bapak saya masih hidup’ hampir saja jadi keputusan ibu yang
paling ia sesali.
Dibesarkan oleh ibu
yang berstatus sebagai pegawai tidak pernah membuat saya merasa tidak terurus.
Ibu jelas mengurus kami anak-anaknya. Bahkan ketika ibu saya tidak pernah
mempermasalahkan berapa pun nilai anak-anaknya di sekolah, saya tetap merasa ia
tidak sedang mengabaikan kami. Ibu saya malah heran, saat saya kelas 2 SMA
buku rapor saya sembunyikan berbulan-bulan karena nilai Fisika saya 5. Ia
tidak marah. Berganti saya yang kemudian heran.
Ibu saya juga bukan
tipe ibu-ibu yang suka mendampingi anak-anaknya saat mengerjakan PR. Memang
jawaban PR bisa ditemukan di buku paket masing-masing pelajaran, tapi tidak
begitu dengan Matematika. Sejak pelajaran Matematika tidak lagi sebatas
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan puluhan, ibu saya
memang mengingatkan “Jangan pernah tanya tentang matematika!”. Jadilah saya
anak yang jarang mengerjakan PR di bawah pengawasan ibu.
Satu-satunya momen
mengerjakan PR bersama ibu yang saya ingat adalah ketika PR Bahasa Indonesia
mengharuskan saya mencari arti kata (yang katanya sendiri sudah saya lupa, yang
pasti kata yang sudah disertai awalan) dan sinonimnya. Saya mengandalkan kamus
waktu itu. Tapi kata yang saya cari tidak juga saya temukan karena saya mencari
kata itu berdasarkan huruf pertama dari kata yang sudah dengan awalan itu. Ibu
lalu memberitahu bahwa mencari kata-kata di kamus harus berdasarkan kata
dasarnya. Pesan ibu saya ini, saya pegang teguh sampai aplikasi kamus di ponsel
muncul.
Jangankan mendampingi
saat mengerjakan PR, ibu saya bahkan jarang sekali memeriksa buku catatan saya
di sekolah. Suatu kali, saat saya sudah duduk di kelas 4 SD, saat guru
sudah memberi catatan dengan cara mendikte, ibu mendapati catatan saya berisi kata-kata
yang disingkat. Ibu protes dengan dengan banyaknya singkatan di catatan saya, sampai saya membuat kesimpulan
bahwa di matanya kata yang bisa disingkat hanyalah ‘yang’. Ibu lalu
mengingatkan agar tidak terbiasa dengan hal itu. Ini adalah salah satu nasehat
Ibu yg tidak pernah saya turuti, sampai skrg. Kalau tidak percaya, coba baca baik-baik satu kalimat sebelum kalimat ini!
Saya rasa sekalipun Ibu
saya adalah ibu rumah tangga biasa, tetap saja momen-momen mengerjakan PR dan
membahas pelajaran adalah hal yang akan jarang saya alami, dan saya tidak
pernah kecewa karena hal itu.
Berbeda dengan Ibu saya
yang bekerja karena semata-mata alasan ekonomi, seorang teman saya punya alasan
yang lebih lagi. Menikah dengan pria dengan kondisi ekonomi mapan disertai
latar belakang keluarga yang berada malah membuat teman saya ini lebih semangat
sebagai pekerja kantoran.
Pernah ia bercerita,
mengeluhkan anak laki-lakinya yang begitu manja karena lebih sering diasuh
kakek dan nenek. “Biar dibilangi jelek
bajunya, marah mi. Maunya dipuji
terus. Kalau sekolah mi nanti bakal susah punya teman. Begitu mi kalau anak-anak lebih banyak sama
neneknya.”
“Berhenti mi ko kerja!”, kata saya. “Ih, jangan. Ko taumi bukan ka anak orang kaya, trus menikah
dengan anak orang kaya, apalagi yang bisa bikin
tegak kepalaku di depan keluarganya kalau tidak ada kerja ku? Tidak pernah ji memang saya dengar mereka remehkan keluargaku, tapi bakal jadi
tidak pede ka kalau tidak ada penghasilanku”,
lanjutnya. Saya tidak lanjut bertanya lagi, saya memakluminya keresahannya.
Ibu saya yang hidup
sebagai orang tua tunggal tentu memiliki keresahan berbeda dengan teman yang
saya ceritakan di atas, jika saja mereka
tidak lagi bekerja sebagai pegawai kantoran. Perempuan yang lain pun mungkin
punya keresahan yang berbeda lagi. Keresahan adalah hal yang biasa. Bukankah
Kartini juga dulunya memiliki keresahan? Maka resah lalu menulislah! Seperti
Kartini. Selamat Hari Kartini!
2 komentar:
Selalu nggak ada habis-habisnya kalau ngomongin tentang sosok ibu.
Ho'oh... :-)
Posting Komentar