Kamis pagi, 7 April 2016. Saya bangun dari tidur, membuka jendela
kamar lalu melihat ke halaman pondokan. Sepi.
Motor-motor sudah tidak ada, pertanda tetangga-tetangga kamar sudah
berangkat ke tempat aktivitas masing-masing, dan pertanda yang kemudian adalah
: saya bangun kesiangan. Segera saya mengecek ponsel, di layarnya terlihat
angka 07 : 22. Saya tersenyum sambil berkata “kecuali penghasilannya yang tidak kunjung membuat kaya-raya,
ah...saya cinta pekerjaan ini”, dalam
hati tentu saja dengan mata yang masih mengantuk pula. Berhubung aturan
jam masuk di kantor saya tidak terlalu ketat, saya diam berpikir sejenak
“lanjut tidur atau mandi?”. Saya memutuskan : bikin kopi. Butuh sesi bengong agak lama untuk
menghabiskan kopi ini. Sekali lagi saya mengintip layar ponsel, 08:28. Sadar
saya bengong sampai sejam, saya jadi menyesal kenapa tadi tidak melanjutkan tidur saja ketimbang minum
kopi untuk mengurangi kantuk? Saya lalu mandi.
Saya tidak lagi memperhatikan jam
saat keluar kamar, tapi biasanya butuh
waktu 40 menit untuk saya mandi dan (sebut saja) berdandan sebelum berangkat ke
kantor. Kali ini saya tidak langsung menuju kantor, saya mampir dulu ke rumah
bos untuk curhat konsultasi mengenai pekerjaan saya yang tak kelar-kelar.
Konsultasi selesai, sayapun berangkat ke kantor, naik pete-pete.
Tidak sampai lima menit,
pete-pete yang saya tumpangi dari Pintu 2, ketika sampai di Pintu 1 UNHAS
pete-pete ini dihadang oleh supir pete-pete yang lain, yang katanya sedang
berdemo. Supir pete-pete saya bersikeras ingin melanjutkan perjalanan, tapi para
“pendemo” ini lebih keras lagi. Mereka mengerumuni pete-pete lalu menghantamnya
dengan tangan (untung bukan balok). Pak supir terpaksa mengalah dan meminta
kami turun. Penumpang tidak bisa apa-apa selain turun. Rasanya dongkol sekali. Ah..,
begini rupanya rasa sakit ketika dipaksa
turun di tengah jalan oleh orang yang kendaraannya kamu tumpangi.
Ternyata tidak harus punya pacar(lalu bertengkar) untuk tahu bagaimana rasanya
ketika dipaksa turun di tengah jalan, bepergianlah(dengan pete-pete) bertepatan
dengan jadwal supir pete-pete berdemo !
Meskipun dongkol saya jadi
tersenyum mendengar sedikit kalimat orator demo yang bunyinya kurang lebih
begini “... walikota yang akan menghapus pete-pete dari Makassar”. Sudahlah,
mereka sedang memperjuangkan nasib, berhentilah dongkol ! Saya bertanya dalam
hati, “lanjut ke kantor atau kembali ke
pondokan?”. Saya pilih kembali, pekerjaan bisa saya lanjut di kamar dan lagi,
komunikasi dengan klien toh hanya lewat telepon. Begitu pikir saya. Akhirnya
kembalilah saya.
Pukul 10.05, saya tiba di
pondokan. Ketika hendak melanjutkan
pekerjaan, saya jadi ingat kalau saya harus menelepon klien untuk kelengkapaan
data, sesuai perintah bos tadi. Lalu saya jadi ingat juga kalau saya kehabisan
pulsa dan belum sempat mengisinya tadi. Penjual pulsa jauh dari pondokan
dan membeli lewat internet banking yang
masih menguras pulsa ketika meminta mtoken jelas bukan pilihan juga. Saya tidak punya pilihan.
Sepertinya, hari ini saya
ditakdirkan untuk tidur seharian. Demo supir pete-pete, penumpang diturunkan di
tengah jalan, pulsa yang tidak cukup untuk menelepon sudah cukup jadi isyarat
bagi takdir “tidur seharian” itu, karena konon katanya tidak ada yang kebetulan
di dunia ini. Tapi jika benar tidak ada “kebetulan” lalu apa maksudnya saya
minum kopi tadi pagi? Jangan-jangan itu adalah pertanda bahwa komunikasi tidak
hanya bisa melalui telepon, tapi bisa juga lewat whatsapp.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar